BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sejalan
dengan pesatnya laju pembangunan, jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun juga
mengalami peningkatan yang cukup berarti. Melalui jalur pendidikan baik formal
mulai dari pendidikan dasar, sekolah menengah sampai dengan pendidikan tinggi,
maupun non formal Pemerintah bertekad untuk membekali masyarakat (peserta
didik) sehingga mampu hidup layak sebagai anggota masyarakat. Pembaharuan dan
penyempurnaan di bidang pendidikan terus-menerus dilakukan, mencakup segi
kualitas, relevansi, maupun pemerataan. Lebih Ianjut untuk mengatasi
kesenjangan antara produk pendidikan dan kebutuhan tenaga kerja dunia industri
telah dijalin berbagai bentuk kerjasama yung saling mendukung dan
menguntungkan. Karena itu lembaga pendidikun dituntut untuk segera melakukan
konsolidasi, di pihak lain dunia kerja/industri dituntut untuk lebih membuka
diri. Dengan demikian diharapkun
upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, terutama dalam kaitannya dengan
bidang pendidikan dan ketenagakerjaan dapat dicapai secara maksimal.
Sejalan
dengan tantangan kehidupan global, pendidikan merupakan hal yang sangat penting
karena pendidikan salah satu penentu mutu Sumber Daya Manusia. Dimana dewasa
ini keunggulan suatu bangsa tidak lagi ditandai dengan melimpahnya kekayaan
alam, melainkan pada keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM). Dimana mutu Sember
Daya Manusia (SDM) berkorelasi positif dengan mutu pendidikan, mutu pendidikan
sering diindikasikan dengan kondisi yang baik, memenuhi syarat, dan segala
komponen yang harus terdapat dalam pendidikan, komponen-komponen tersebut
adalah masukan, proses, keluaran, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana
serta biaya.
Mutu
pendidikan tercapai apabila masukan, proses, keluaran, guru, sarana dan
prasarana serta biaya apabila seluruh komponen tersebut memenuhi syarat
tertentu. Namun dari beberapa komponen tersebut yang lebih banyak berperan
adalah tenaga kependidikan yang bermutu yaitu yang mampu menjawab
tantangan-tantangan dengan cepat dan tanggung jawab. Tenaga kependidikan pada
masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut tenaga kependidikan
untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan
kompetensinya.
Pendidikan
yang bermutu sangat membutuhkan tenaga kependidikan yang professional. Tenaga
kependidkan mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan
pengetahuan, ketrampilan, dan karakter peserta didik. Oleh karena itu tenaga
kependidikan yang professional akan melaksanakan tugasnya secara professional
sehingga menghasilkan tamatan yang lebih bermutu. Menjadi tenaga kependidikan
yang profesional tidak akan terwujud begitu saja tanpa adanya upaya untuk
meningkatkannya, adapun salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan
pengembangan profesionalisme ini membutuhkan dukungan dari pihak yang mempunyai
peran penting dalam hal ini adalah kepala sekolah, dimana kepala sekolah
merupakan pemimpin pendidikan yang sangat penting karena kepala sekolah
berhubungan langsung dengan pelaksanaan program pendidikan di sekolah.
Profesionalisme
tenaga kependidikan juga secara konsinten menjadi salah satu faktor terpenting
dari mutu pendidikan. Tenaga kependidikan yang profesional mampu membelajarkan
murid secara efektif sesuai dengan kendala sumber daya dan lingkungan. Namun,
untuk menghasilkan guru yang profesional juga bukanlah tugas yang mudah. Guru
harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran
siswa. Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut
memiliki kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya
Ada dua faktor yang dapat
menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau
tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih
bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada
asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan
buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan,
pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga
pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu
sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan
oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi
sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam
institusi ekonomi dan industri.
Kedua,
pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur
oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan
di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya
di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa
komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat
terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
2. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan yang ingin
dicapai dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Agar dapat mengetahui bagaimana peran
pendidikan dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia.
2. Peranan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan
Mutu dan Kualitas Pendidikan
3. Agar dapat mengetahui apa yang harus
dilakukan sebagai seorang guru dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia.
4. Agar dapat mengetahui peran aktif siswa
dalam meningkatkan Mutu dan kualitas pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peranan Pendidikan dalam meningkat Sumber
Daya Manusia
Persoalan
ketenagakerjaan selalu mendapat perhatian yang serius dari berbagai
kalangan, baik pemerintah, swasta maupun dari masyarakat.
Kompleksitas permasalahan ketenagakerjaan ini dapat dipandang sebagai suatu
upaya masing-masing individu untuk memperoleh dan mempertahankan hak-hak
kehidupan yang melekat pada manusia agar memenuhi kebutuhan demi kelangsungan
hidup.
Tujuan
pembangunan nasional, yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai,
demokratis, berkeadilan dan berdaya saing maju dan sejahtera dalam wadah negara
kesatuan republik indonesia yang didukung oleh manusia yang sehat, mandiri dan
bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Dari tujuan
tersebut tercermin bahwa sebagai titik sentral pembangunan adalah pemberdayaan
sumber daya manusia termasuk tenaga kerja, baik sebagai sasaran pembangunan
maupun sebagai pelaku pembangunan. Dengan demikian, pembangunan ketenagakerjaan
merupakan salah satu aspek pendukung keberhasilan pembangunan nasional. Di sisi
lain, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan
pembangunan nasional tersebut, khususnya dibidang dibidang ketenagakerjaan,
sehingga diperlukan kebijakan dan upaya dalam mengatasinya.
Sehubungan
hal tersebut di atas pengembangan SDM di Indonesia dilakukan melalui tiga jalur
utama, yaitu pendidikan, pelatihan dan pengembangan karir di tempat kerja. Jalur pendidikan merupakan tulang punggung
pengembangan SDM yang dimulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Sementara itu, jalur pelatihan dan pengembangan karir di tempat kerja merupakan
jalur suplemen dan komplemen terhadap pendidikan.
Arah
pembangunan SDM di indonesia ditujukan pada pengembangan kualitas SDM secara
komprehensif meliputi aspek kepribadian dan sikap mental, penguasaan ilmu dan
teknologi, serta profesionalisme dan kompetensi yang ke semuanya dijiwai oleh
nilai-nilai religius sesuai dengan agamanya. Dengan kata lain, pengembangan SDM
di Indonesia meliputi pengembangan kecerdasan akal (IQ), kecerdasan sosial (EQ)
dan kecerdasan spiritual (SQ).
Dalam rangka
pengembangan SDM di indonesia, banyak tantangan yang harus dihadapi. Tantangan
pertama adalah jumlah penduduk yang besar, yaitu sekitar 216 juta jiwa.
Tantangan kedua adalah luasnya wilayah indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau
dengan penyebaran penduduk yang tidak merata. Tantangan ketiga adalah mobilitas
penduduk yang arus besarnya justru lebih banyak ke pulau Jawa dan ke kota-kota
besar.
Berbagai
tantangan seperti itu, memerlukan konsep, strategi dan kebijakan yang tepat
agar pengembangan SDM di Indonesia dapat mencapai sasaran yang tepat secara
efektif dan efisien. Hal ini penting dilakukan karena peningkatan kualitas SDM
Indonesia tidak hanya untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing di dalam maupun
diluar negeri, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan
penghasilan bagi masyarakat.
Hal yang dapat digaris bawahi dari
perubahan manajemen pendidikan yaitu adanya pengurangan peran pemerintah dalam
pengelolaan sekolah. Sebaliknya, terjadi peningkatan peran sekolah dan
masyarakat yang diyakini bahwa sekolah dan masyarakatlah yang mengetahui
“kelemahan dan kekuatan” yang ada. Dalam hubungannya dengan peran dan
partisipasi masyarakat terhadap peningkatan kualitas pendidikan, Ridono Aidad
menyebutkan sebagai berikut : (1). memberikan bantuan pendidikan melalui
sumbangan pendidikan. (2). menyadarkan tentang pentingnya pendidikan, sehingga
menyekolahkan anaknya keberbagai lembaga pendidikan. (3). Memberikan pendidikan
di rumah sebagai pengganti gurunya di sekolah. (4). Membantu guru mengawasi
perilaku siswa di lingkungan lainnya. (5). Memberikan saran dan pendapat
positif secara aktif terhadap lembaga pendidikan yang ada, guna peningkatan
mutu pendidikan yang lebih baik. (6). Melaporkan keadaan siswa yang dapat
menghambat pendidikannya kepada guru (wali kelas) atau kepala sekolah yang
bersangkutan. (7). Mengkoordinir para orang tua murid untuk secara bersama-sama
memikirkan kemajuan dan cara terbaik untuk peningkatan mutu yang lebih tinggi lagi.
Sebagai bahan yang dapat dipertimbangkan
dalam hubungannya dengan upaya peningkatan mutu, dapat kita simak
prinsif-prinsif W. Edward Deming sebagai mana dikutif oleh Randall S. Schuler
dalam buku “Manajemen Sumber Daya Manusia”, sebagai berikut : (1). Ciptakan
konsistensi dan keberlanjutan tujuan. (2). Jangan berikan toleransi pada jenis
kesalahan yang akan mengakibatkan penundaan pekerjaan, bahan yang rusak, atau
pekerjaan yang buruk. (3). Hilangkan ketergantungan pada pemeriksaan massal.4).
Kurangi jumlah pemasok . (5). Lakukan pencarian masalah dalam sistem secara
rutin dan lakukan perbaikan. (6). Lembagakan metode pelatihan modern, dengan
menggunakan statistik. (7). Pusatkan pekerjaan penyeliaan untuk membantu
karyawan melakukan pekerjaan yang lebih baik. Sediakan alat dan teknik supaya
karyawan memiliki rasa bangga terhadap pekerjaannya. (8). Hilangkan rasa
kuatir. Komunikasi dua arah harus dirangsang. (9). Hancurkan penghalang antar
departemen. Lakukan pemecahan masalah melalui kerja kelompok. (10). Hilangkan
penggunaan sasaran numerik, slogan, dan poster untuk karyawan. (11). Gunakan
metode statistik untuk melanjutkan perbaikan mutu dari produktivitas serta
hilangkan semua standar yang menggunakan kuota jumlah. (12). Hilangkan
penghalang sehingga karyawan merasa bangga dengan pekerjaan yang dilakukan.
(13). Lembagakan program pelatihan dan pendidikan supaya karyawan dapat terus
mengikuti perkembangan metode, material, dan teknologi terbaru. (14). Jelaskan
komitmen permanen manajemen terhadap mutu produktivitas.
Apa yang dikemukakan Randall secara
implisit memang bukan untuk mengatasi permasalahan “mutu” pada dunia
pendidikan, tetapi pada dewasa ini kesuksesan manajemen industri telah membuat
iri para pengelola pendidikan. Namun upaya peningkatan mutu, baik pada bidang
industri maupun pada bidang pendidikan bukanlah pekerjaan yang mudah. Untuk
meningkatkan mutu pada bidang pendidikan dipengaruhi oleh banyak faktor,
seperti mutu masukan pendidikan, mutu sumber daya pendidikan, mutu guru dan
pengelola pendidikan, mutu proses pembelajaran, sistem ujian dan pengendalian
mutu, serta kemampuan pengelola pendidikan untuk mengantisipasi dan menangani
berbagai pengaruh lingkungan pendidikan.
Tanpa mengabaikan peranan faktor penting
lainnya, mutu guru telah ditemukan oleh berbagai studi sebagai faktor yang
paling konsisten dan kuat dalam mempengaruhi mutu pendidikan.¬¬ Bahkan salah
satu poin dari hasil Konfrensi Khusus Antar Pemerintah mengenai status guru
yang diselenggerakan Oleh UNESCO/ILO pada tahun 1966 di Paris menyebutkan bahwa
:
“Harus diakui bahwa kemajuan dalam
pendidikan dan sebagian besar bergantung kepada kewenangan dan kemampuan staff
pendidikan pada umumnya dan kepada mutu paedagogis serta teknis insani dari guru-guru
seorang demi seorang”.
Ungkapan yang sering kita dengar bahwa
“guru merupakan tulang punggung bangsa dan negara” atau informasi yang belum
diketahui sumber aslinya tentang Jepang sesudah dua kota ( Hirosyima dan
Nagasaki ) dijatuhi bom Atom oleh sekutu pada tahun 1945. Konon yang pertama
kali ditanyakan oleh Kaisar adalah berapa jumlah guru yang masih hidup, bukan
jumlah jenderal atau lainnya. Di sini menunjukkan bahwa guru menduduki tempat
yang penting dan terhormat.
Guru yang bermutu adalah mereka yang mampu
membelajarkan murid secara efektif, sesuai dengan kendala, sumber daya, dan
lingkungannya. Di lain pihak, upaya menghasilkan guru yang bermutu juga
merupakan tugas yang tidak mudah. Mutu guru juga berarti tenaga pengajar yang
mampu melahirkan lulusan yang bermutu, sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
berbagai jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Di lain pihak, mutu guru sangat
berkaitan dengan pengakuan masyarakat akan status guru sebagai jabatan
profesional. Dalam hubungannya dengan hal tersebut, D. Sudjana S. menyatakan
bahwa profesi guru harus memiliki tiga kompetensi, yaitu kompetensi pribadi,
kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Kompetensi pribadi, mencakup kedewasaan
psikis, dedikasi, idealisme, itikad untuk membantu orang lain, menghargai orang
lain, keteladanan, kejujuran, ikhlas, terbuka, dan tidak kaku. Kompetensi
Profesional, mencakup kemampuan dan kewenangan khusus dalam materi dan proses
pembelajaran; memiliki wawasan yang luas dengan memahami berbagai materi dan
proses pembelajaran yang berkaitan dengan kemampuan dan kewenangan khusus yang
dimiliki; mengembangkan diri untuk menjadi spesialis dalam materi dan proses
pembelajaran; memperoleh pengakuan dari masyarakat yang menjadi layanannya; dan
mempunyai jaringan profesional dari pihak lain. Kompetensi sosial, … memiliki
sikap pengabdian kepada masyarakat; memahami prinsif-prinsif sebagai pembantu,
peneliti dan pengembang masyarakat; dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial
atau pembangunan masyarakat.
Sikap keragu-raguan terhadap mutu profesi
guru dewasa ini sering terlontar dikalangan masyarakat, merupakan akibat dari
persiapan tenaga guru yang belum memadai. Banyak pihak yang mengungkapkan bahwa
mutu profesi guru cenderung belum didasarkan pada konsep yang jelas dan
konsisten agar memperoleh pengakuan khusus dari masyarakat. Untuk menjawab
tantangan ini, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dalam kongresnya yang
ke XIII di Jakarta telah menghasilkan keputusan penting bagi peningkatan citra
dan mutu guru, yaitu “Kode Etik Guru”. Kode Etik Guru merupakan pedoman dasar
bagi guru dalam melaksanakan tugas profesinya. Uraian Kode Etik Guru sebagai
berikut : (1). Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia
Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. (2). Guru memiliki dan melaksanakan
kejujuruan profesional. (3). Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta
didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan. (4). Guru menciptakan
suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses
belajar-mengajar. (5). Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid
masyarakat disekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab
bersama terhadap pendidikan. (6). Guru secara pribadi dan bersama-sama,
mengembangkan dan meningkatkan mutu martabat profesinya. (7). Guru memelihara hubungan
seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial. (8). Guru secara
bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana
perjuangan dan pengabdian. (9). Guru melaksanakan segala kebijaksanaan
Pemerintah dalam bidang pendidikan.
Dari pengalaman selama ini dalam
meningkatkan kemampuan guru diperoleh kesimpulan bahwa guru yang bermutu ialah
mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan berbagai kapasitasnya sebagai
pendidik. Dalam studi tersebut ditemukan bahwa guru yang bermutu diukur dengan
empat faktor utama yaitu : (1) kemampuan profesional; (2) upaya profesional;
(3) waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional; dan (4) kesesuaian antara
keahlian dan pekerjaannya.
Keempat faktor utama sebagai ukuran mutu guru, Wardiman Djoyonegoro
menguraikan sebagai berikut :
Kemampuan profesional guru
terdiri dari kemampuan intelegensi, sikap, dan prestasinya dalam bekerja. Dalam
berbagai penelitian, kemampuan profesional guru ditunjukkan dengan
tinggi-rendahnya nilai tes yang mengukur kemampuan menguasai materi pelajaran
yang diajarkan. Secara sederhana, kemampuan profesional ini bisa ditunjukan
dengan kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan tentang materi pelajaran yang
diajarkan termasuk upaya untuk selalu memperkaya dan meremajakan pengetahuan
tersebut.
Upaya profesional guru adalah upaya
seorang guru untuk mentransformasikan kemampuan profesionalis yang dimilikinya
ke dalam proses belajar-mengajar. Dalam beberapa penelitian, upaya profesional
guru tersebut ditunjukkan oleh penguasaan keahlian mengajar baik keahlian dalam
menguasai materi pelajaran, penggunaan bahan pengajaran, pengelolaan kegiatan
belajar murid, maupun upaya untuk selalu memperkaya serta meremajakan
kemampuannya dalam mengembangkan program pengajaran. Waktu yang dicurahkan
untuk kegiatan profesional (Teacher’s Time) menunjukkan intensitas waktu yang
dipergunakan oleh seorang guru untuk tugas-tugas profesionalnya. Teacher’s time
ini merupakan salah satu indikator penting dari mutu guru, seperti ditunjukkan
oleh konsep waktu belajar (Time on Task) yang diukur dari intensitas belajar
siswa secara perorangan. Time on Task ini telah ditemukan oleh berbagai
penelitian secara konsisten sebagai prediktor terbaik dari mutu hasil belajar
peserta didik.
Kesesuaian keahlian dengan pekerjaan
profesional merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan profesional seorang
guru. Faktor ini penting sesuai dengan prinsip keterkaitan dan kesepadanan yang
harus menjadi tantangan bagi LPTK untuk selalu mengaitkan pendidikannya dengan
kebutuhan guru, baik dari segi jumlah maupun mutunya.
Dalam hubungannya dengan permasalahan yang
diangkat sebagai bahan penelitian, yaitu permasalahan yang berhubungan dengan
unsur personil sekolah, yaitu guru. Guru sebagai tenaga kependidikan bertugas
menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan,
mengelola, dan atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. Guru
harus secara efektif memberikan dorongan dan bantuan pencarian informasi
pendukung tesis moralitas global. Belajar informasi oleh guru, dimaksudkan
bukan sebatas penyediaan bahan pengajaran bagi pemenuhan kebutuhan emosi dan
kesadaran siswa, tetapi juga membentuk sikap mandiri dan mempengaruhi perilaku
kehidupan serta disiplin sekolah mereka.
Guru merupakan unsur penting dan
berpengaruh dalam proses pendidikan dan pengajaran. Tenaga guru merupakan
tenaga yang penting yang tidak boleh, tidak ada. Bagaiamanapun baiknya unsur
lain, tetapi bila tidak didukung oleh unsur guru yang profesional maka
pelaksanaan program pendidikan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Kunci
keberhasilan pelaksanaan program pendidikan dan pengajaran sangat ditentukan
oleh guru yang melaksanakan proses pembelajaran secara profesional.
Guru yang memiliki profesionalisme tinggi
akan tercermin dalam sikap mental sarta komitmennya terhadap perwujudan dan
peningkatan kualitas profesional melalui berbagai cara dan strategi. Guru akan
selalu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman sehingga
keberadaannya senantiasa memberikan makna profesional.
Kata “profesi” dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia diberi arti “bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keakhlian
(keterampilan, kejuruan, dsb.) tertentu.” Profesionalisme adalah sebutan yang
mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu
profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan profesionalnya. Mohammad
Surya menyebutkan bahwa sebagai indikator atau ciri dari profesionalisme adalah
:
Pertama, dia selalu bercita-cita untuk
berada atau berkinerja mendekati standar ideal. … Kedua, selalu berusaha untuk
memperbaiki dirinya melalui pengalaman belajar, … Ketiga, seorang guru yang
berprofesionalisme tinggi itu artinya dia memiliki kebanggaan profesi. Dia
memiliki kebanggaan pada peran-peran masa lalu, berdedikasi untuk masa
sekarang, dan meyakini akan peran-peran dimasa yang akan datang.
Sikap profesional dan perilaku guru akan
mewarnai bentuk-bentuk proses pembelajaran yang terjadi. Guru sebagai pengemban
tugas langsung bertatap muka dengan siswa dapat membimbing aktivitas belajar
siswa, dan harus mampu menciptakan suasana belajar yang dapat mendorong siswa
belajar dengan baik.
Sikap guru pada proses pembelajaran
cenderung mempengaruhi perilaku guru dalam mengajar, sedangkan perilaku guru
dalam mengajar akan mempengaruhi siswa dalam belajar. Tingkah laku guru akan
mempengaruhi tingkah laku siswa. Siswa secara terus menerus mereaksi sikap,
nilai dan kepribadian guru. Bila sikap guru terhadap pengajaran negatif, guru
cenderung melakukan tugas mengajar menjadi sekedarnya dan tidak serius. Hal ini
akan mempengaruhi pula kepada suasana belajar siswa di kelas. Siswa menjadi
kehilangan motivasi untuk belajar. Akibatnya hasil belajar siswa menjadi tidak
memuaskan. Lain halnya dengan keadaan sikap positif pada proses pembelajaran,
guru akan cenderung melakukan tugas mengajar dengan baik sesuai dengan tugas
dan tanggung jawab yang diembannya. Dampaknya sangat positif bagi situasi
belajar siswa sehingga diharapkan akan berdampak positif bagi hasil belajarnya.
Hubungan guru-siswa merupakan hal yang
tidak dapat dihindari dari kegiatan pengajaran. Keduanya berada pada satu
situasi dan kondisi yang sama dengan tujuan mengubah (guru) dan berubah
(siswa). Antara guru dengan siswa harus terjadi interaktif yang harmonis dan
serasi. Dari sudut pandang guru, sebagai subjek yang melaksanakan pengajaran,
Winarno Surakhmad menyimpulkan ada tiga fase pelaksanaan pengajaran, yaitu :
Fase pertama merupakan tindakan-tindakan
pendahuluan, misalnya tindakan untuk meniadakan pengaruh negatif … Fase kedua
berpusat pada proses mengajar secara aktual. Untuk mencegah terjadinya proses
yang mekanik, dalam fase ini guru harus waspada terhadap faktor-faktor yang
membutuhkan perhatian khusus, baik dari pihak murid maupun dari pihak luar. Perhatian
guru sekaligus harus tertuju pada bermacam-macam hal, baik mengenai penguasaan
dan pengendalian di kelas, maupun mengenai dirinya sendiri. Pada suatu saat
proses interaksi yang khusus itu mendekati penyelesaian; pada saat ini guru
memasuki fase ketiga.
Upaya pemerintah dalam meningkatkan
profesionalisme guru sudah banyak dilakukan melalui berbagai hal, seperti
penataran-penataran, lokakarya, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), dan lain
sebagainya, tetapi kualitas hasil belajar masaih saja merupakan persoalan.
Salah satu penyebabnya bisa jadi adalah karena sikap guru pada proses
pembelajaran yang belum menunjukkan sikap positif. Keadaan seperti ini memang
tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, dan harus segera dicari jalan keluarnya
sehingga proses pencapaian tujuan pendidikan dapat dilaksanakan dengan optimal.
Sikap guru terhadap pelaksanaan tugas
profesional dalam kegiatan pengajaran dapat dipengaruhi oleh banyak faktor,
baik faktor dari dalam maupun faktor dari luar. Faktor dari luar yang dapat
mempengaruhi dan membentuk sikap guru pada proses pembelajaran, diantaranya
adalah bagaimana persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dan
bagaimana persepsi guru terhadap kondisi lingkungan kerja ditempat ia bertugas.
Kedua unsur tersebut berkemungkinan sangat besar pengaruhnya terhadap
pelaksanaan tugas profesional dalam kegiatan pembelajaran sebab kepala sekolah
merupakan pimpinan sekolah dan atasan langsung daru guru-guru. Demikian pula
dengan kondisi lingkungan kerja, berkemungkinan besar dapat mempengaruhi
pelaksanaan tugas profesional dalam kegiatan pembelajaran sebab lingkungan
kerja merupakan tempat keseharian guru-guru bekerja.
Hal inilah yang mendorong untuk dilakukan
pengkajian dengan harapan pengetahuan tentang hal tersebut dapat mendorong terciptanya
sikap positif guru terhadap proses pembelajaran. Dengan demikian diharapkan
sikap positif guru terhadp proses pembelajaran dapat mendorong pula terciptanya
iklim proses pendidikan dan pengajaran di kelas yang dapat memperlacar
pencapaian tujuan yang diharapkan, yaitu out put yang bermutu.
B. Peranan Kepala Sekolah dalam meningkat
Mutu Pendidikan
Secara garis besar, ruang
lingkup tugas kepala sekolah dapat diklasifikasikan ke dalam dua aspek pokok,
yaitu pekerjaan di bidang administrasi sekolah dan pekerjaan yang berkenaan
dengan pembinaan profesional kependidikan. Untuk melaksanakan tugas
tersebut dengan sebaik – baiknya, ada tiga jenis ketrampilan pokok yang harus
dimiliki oleh kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan yaitu ketrampilan
teknis ( technical skill ), ketrampilan berkomunikasi ( human
relations skill ) dan ketrampilan konseptual ( conceptual skill ).
Menurut
persepsi banyak guru, keberhasilan kepemimpinan kepala sekolah terutama
dilandasi oleh kemampuannya dalam memimpin. Kunci bagi kelancaran kerja kepala
sekolah terletak pada stabilitas dan emosi dan rasa percaya diri. Hal ini
merupakan landasan psikologis untuk memperlakukan stafnya secara adil,
memberikan keteladanan dalam bersikap, bertingkah laku dan melaksanakan tugas.
Dalam konteks ini, kepala sekolah dituntut
untuk menampilkan kemampuannya membina kerja sama dengan seluruh personel dalam
iklim kerja terbuka yang bersifat kemitraan, serta meningkatkan partisipasi
aktif dari orang tua murid. Dengan demikian, kepala sekolah bisa mendapatkan
dukungan penuh setiap program kerjanya.
Keterlibatan kepala sekolah dalam proses
pembelajaran siswa lebih banyak dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui
pembinaan terhadap para guru dan upaya penyediaan sarana belajar yang
diperlukan.
Kepala sekolah sebagai komunikator
bertugas menjadi perantara untuk meneruskan instruksi kepada guru, serta
menyalurkan aspirasi personel sekolah kepada instansi kepada para guru, serta
menyalurkan aspirasi personel sekolah kepada instansi vertikal maupun masyarakat.
Pola komunikasi dari sekolah pada umumnya bersifat kekeluargaan dengan
memanfaatkan waktu senggang mereka. Alur penyampaian informasi berlangsung dua
arah, yaitu komunikasi top-down, cenderung bersifat instruktif,
sedangkan komunikasi bottom-up cenderung berisi pernyataan atau
permintaan akan rincian tugas secara teknis operasional. Media komunikasi yang
digunakan oleh kepala sekolah ialah : rapat dinas, surat edaran, buku informasi
keliling, papan data, pengumuman lisan serta pesan berantai yang disampaikan
secara lisan.
Dalam bidang
pendidikan, yang dimaksud dengan mutu memiliki pengertian sesuai dengan makna
yang terkandung dalam siklus pembelajaran. Secara ringkas dapat disebutkan
beberapa kata kunci pengertian mutu, yaitu: sesuai standar (fitness to
standard), sesuai penggunaan pasar/pelanggan (fitness to use),
sesuai perkembangan kebutuhan (fitness to latent requirements), dan
sesuai lingkungan global (fitness to global environmental requirements).2
Adapun yang dimaksud mutu sesuai dengan standar, yaitu jika salah satu aspek
dalam pengelolaan pendidikan itu sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Garvin
seperti dikutip Gaspersz mendefinisikan delapan dimensi yang dapat digunakan
untuk menganalisis karakteristik suatu mutu, yaitu: (1) kinerja (performance),
(2) feature, (3) kehandalan (reliability), (4) konfirmasi (conformance),
(5) durability, (6) kompetensi pelayanan (servitability), (7)
estetika (aestetics), dan (8) kualitas yang dipersepsikan pelanggan
yang bersifat subjektif.
Dalam pandangan masyarakat umum sering
dijumpai bahwa mutu sekolah atau keunggulan sekolah dapat dilihat dari ukuran
fisik sekolah, seperti gedung dan jumlah ekstra kurikuler yang disediakan. Ada pula masyarakat yang
berpendapat bahwa kualitas sekolah dapat dilihat dari jumlah lulusan sekolah
tersebut yang diterima di jenjang pendidikan selanjutnya. Untuk dapat memahami
kualitas pendidikan formal di sekolah, perlu kiranya melihat pendidikan formal
di sekolah sebagai suatu sistem. Selanjutnya mutu sistem tergantung pada mutu
komponen yang membentuk sistem, serta proses yang berlangsung hingga membuahkan
hasil.
Dalam
pelaksanaan manajemen peningkatan mutu, Kepala sekolah harus senantiasa
memahami sekolah sebagai suatu sistem organic. Untuk itu kepala sekolah harus
lebih berperan sebagai pemimpin dibandingkan sebagai manager. Sebagai leader
maka kepala sekolah harus :
1.
Lebih banyak mengarahkan daripada mendorong atau
memaksa
2.
Lebih bersandar pada kerjasama dalam menjalankan tugas
dibandingkan bersandar pada kekuasaan atau SK.
3.
Senantiasa menanamkan kepercayaan pada diri guru dan
staf administrasi. Bukannya menciptakan rasa takut.
4.
Senantiasa menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu
daripada menunjukkan bahwa ia tahu sesuatu.
5.
Senantiasa mengembangkan suasana antusias bukannya
mengembangkan suasana yang menjemukan
6.
Senantiasa memperbaiki kesalahan yang ada daripada
menyalahkan kesalahan pada seseorang, bekerja dengan penuh ketangguhan bukannya
ogah-ogahan karena serba kekurangan(Boediono,1998).
Menurut Poernomosidi Hadjisarosa (1997
dalam slamet, PH, 2000), kepala sekolah merupakan salah satu sumberdaya sekolah
yang disebut sumberdaya manusia jenis manajer (SDM-M) yang memiliki tugas dan
fungsi mengkoordinasikan dan menyerasikan sumberdaya manusia jenis pelaksana
(SDM-P) melalui sejumlah input manajemen agar SDM-P menggunakan jasanya untuk
bercampur tangan dengan sumberdaya selebihnya (SD-slbh), sehingga proses
belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik untuk menghasilkan output yang
diharapkan.
Secara umum, karakteristik kepala sekolah tangguh dapat dituliskan sebagai
berikut (Slamet, PH,2000) : Kepala sekolah:
a)
Memiliki
wawasan jauh kedepan (visi) dan tahu tindakan apa yang harus dilakukan (misi)
serta paham benar tentang cara yang akan ditempuh (strategi);
b)
Memiliki
kemampuan mengkoordinasikan dan menyerasikan seluruh sumberdaya terbatas yang
ada untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan sekolah (yang umumnya
tak terbatas)
c)
Memiliki
kemampuan mengambil keputusan dengan terampil (cepat, tepat, cekat, dan akurat)
d)
Memiliki
kemampuan memobilisasi sumberdaya yang ada untuk mencapai tujuan dan yang mampu
menggugah pengikutnya untuk melakukan hal-hal penting bagi tujuan sekolahnya
e)
Memiliki
toleransi terhadap perbedaan pada setiap orang dan tidak mencari orang-orang
yang mirip dengannya, akan tetapi sama sekali tidak toleran terhadap
orang-orang yang meremehkan kualitas, prestasi, standar, dan nilai-nilai
f)
Memiliki
kemampuan memerangi musuh-musuh kepala sekolah, yaitu ketidakpedulian,
kecurigaan, tidak membuat keputusan, mediokrasi, imitasi, arogansi, pemborosan,
kaku, dan bermuka dua dalam bersikap dan bertindak.
Adapun peran kepala sekolah
dalam peningkatan mutu pendidikan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Kepala sekolah menggunakan “pendekatan sistem” sebagai
dasar cara berpikir, cara mengelola, dan cara menganalisis kehidupan sekolah.
Oleh karena itu, kepala sekolah harus berpikir sistem (bukan unsystem), yaitu
berpikir secara benar dan utuh, berpikir secara runtut (tidak meloncat-loncat),
berpikir secara holistik (tidak parsial), berpikir multi-inter-lintas disiplin
(tidak parosial), berpikir entropis (apa yang diubah pada komponen tertentu
akan berpengaruh terhadap komponen-komponen lainnya); berpikir “sebab-akibat”
(ingat ciptaan-Nya selalu berpasang-pasangan); berpikir interdipendensi dan
integrasi, berpikir eklektif (kuantitatif +kualitatif), dan berpikir
sinkretisme.
2.
Kepala sekolah memiliki input manajemen yang lengkap
dan jelas, yangditunjukkan oleh kelengkapan dan kejelasan dalam tugas (apa yang
harus dikerjakan, yang disertai fungsi, kewenangan, tanggungjawab, kewajiban,
dan hak), rencana (diskripsi produk yang akan dihasilkan), program (alokasi
sumberdaya untuk merealisasikan rencana), ketentuanketentuan/limitasi
(peraturan perundang-undangan, kualifikasi, spesifikasi, metoda kerja, prosedur
kerja, dsb.), pengendalian (tindakan turun tangan), dan memberikan kesan yang
baik kepada anak buahnya.
3.
Kepala sekolah memahami, menghayati, dan melaksanakan
perannya sebagai manajer (mengkoordinasi dan menyerasikan sumberdaya untuk
mencapai tujuan), pemimpin (memobilisasi dan memberdayakan sumberdaya manusia),
pendidik (mengajak nikmat untuk berubah), wirausahawan (membuat sesuatu bisa
terjadi), penyelia (mengarahkan, membimbing dan memberi contoh), pencipta iklim
kerja (membuat situasi kehidupan kerja nikmat), pengurus/administrator
(mengadminitrasi), pembaharu (memberi nilai tambah), regulator (membuat
aturan-aturan sekolah), dan pembangkit motivasi (menyemangatkan).
Menurut
Enterprising Nation (1995), manajer tangguh memiliki delapan kompetensi, yaitu:
(a) people skills, (b) strategic thinker, (c) visionary, (d) flexible and
adaptable to change, (e) self-management, (f) team player, (g) ability to solve
complex problem and make decisions, and (h) ethical/high personal standards.
Sedang American Management
Association (1998) menuliskan 18 kompetensi yang harus dimiliki manajer
tangguh, yaitu: (a) efficiency orientation, (b) proactivity, (c) concern with
impact, (d) diagnostic use of concepts, (e) use of unilateral power, (f) developing
others, (g) spontaneity, (h) accurate self-assessment, (i) self-control, (j)
stamina and adaptability, (k) perceptual objectivity, (l) positive regard, (m)
managing group process, (n) use of sosialized power, (o) self-confidence, (p)
conceptualization, (q) logical thought, and (r) use of oral presentation.
- Kepala sekolah memahami, menghayati, dan melaksanakan dimensi-dimensi tugas (apa), proses (bagaimana), lingkungan, dan keterampilan personal, yang dapat diuraikan sebagai berikut: (a) dimensi tugas terdiri dari: pengembangan kurikulum, manajemen personalia, manajemen kesiswaan, manajemen fasilitas, pengelolaan keuangan, hubungan sekolahmasyarakat, dsb; (b) dimensi proses, meliputi pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, pengkoordinasian, pemotivasian, pemantauan dan pengevaluasian, dan pengelolaan proses belajar mengajar; (c) dimensi lingkungan meliputi pengelolaan waktu, tempat, sumberdaya, dan kelompok kepentingan; dan (d) dimensi keterampilan personal meliputi organisasi diri, hubungan antar manusia, pembawaan diri, pemecahan masalah, gaya bicara dan gaya menulis (Lipham, 1974; Norton, 1985).
5.
Kepala sekolah mampu menciptakan tantangan kinerja
sekolah (kesenjangan antara kinerja yang aktual/nyata dan kinerja yang diharapkan).
Berangkat dari sini, kemudian dirumuskan sasaran yang akan dicapai oleh
sekolah, dilanjutkan dengan memilih fungsi-fungsi yang diperlukan untuk
mencapai sasaran, lalu melakukan analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity,
Threat) untuk menemukan faktor-faktor yang tidak siap (mengandung persoalan),
dan mengupayakan langkah-langkah pemecahan persoalan. Sepanjang masih ada
persoalan, maka sasaran tidak akan pernah tercapai.
6.
Kepala sekolah mengupayakan teamwork yang
kompak/kohesif dan cerdas, serta membuat saling terkait dan terikat antar
fungsi dan antar warganya, menumbuhkan solidaritas/kerjasama/kolaborasi dan
bukan kompetisi sehingga terbentuk iklim kolektifitas yang dapat menjamin
kepastian hasil/output sekolah.
7.
Kepala sekolah menciptakan situasi yang dapat
menumbuhkan kreativitas dan memberikan peluang kepada warganya untuk melakukan
eksperimentasi-eksperimentasi untuk menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru,
meskipun hasilnya tidak selalu benar (salah). Dengan kata lain, kepala sekolah
mendorong warganya untuk mengambil dan mengelola resiko serta melindunginya
sekiranya hasilnya salah.
8.
Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kesanggupan
menciptakan sekolah belajar .
9.
Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kesanggupan
melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah sebagai konsekuensi logis dari
pergeseran kebijakan manajemen, yaitu pergeseran dari Manajemen Berbasis Pusat
menuju Manajemen Berbasis Sekolah (dalam kerangka otonomi daerah).
10. Kepala
sekolah memusatkan perhatian pada pengelolaan proses belajar mengajar sebagai
kegiatan utamanya, dan memandang kegiatan-kegiatan lain sebagai
penunjang/pendukung proses belajar mengajar. Karena itu, pengelolaan proses
belajar mengajar dianggap memiliki tingkat kepentingan tertinggi dan
kegiatan-kegiatan lainnya dianggap memiliki tingkat kepentingan lebih rendah
11. Kepala
sekolah mampu dan sanggup memberdayakan sekolahnya (Slamet PH, 2000), terutama
sumberdaya manusianya melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumberdaya.
C. Persiapan seorang guru dalam pendidkan
untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia
Peningkatan
kualitas SDM sebenarnya harus diawali dengan peningkatan kualitas pembelajaran
di kelas. Melalui pembelajaran kelas yang efektif akan diperoleh kualitas SDM
yang handal. Hal ini disebabkan karena peran sentral guru sebagai “nahkoda
kelas”. Oleh sebab itu guru yang ideal adalah guru yang mampu menjadi partner
siswa dalam belajar, motivator dan teladan sikap positif, sekaligus selalu
melakukan refleksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk mencapai hal
tersebut maka seorang guru dituntut untuk memiliki enam sikap dasar, yang
antara lain: (1) Mengkritik diri sendiri, senantiasa melakukan refleksi secara
jujur, dalam rangka pengembangan kekurangan diri sendiri. (2) Terbuka terhadap
masukan orang luar, berbagai macam masukan dan informasi merupakan “data base”
untuk terasah dan semakin kaya akan solusi dan inovasi dalam pembelajaran. (3) Mau mengakui kesalahan, menumbuhkan sikap
tanggung jawab dalam melakukan tindakan. (4) Mau menggunakan ide orang lain
yang dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar. (5) Mau memberi masukan
yang jujur dan penuh dan terakhir (6) Berkomitmen terhadap perubahan, setiap
guru harus mampu menumbuhkan komitmen bahwa proses pembelajaran hakekatnya
adalah belajar untuk menjadi dan memberikan yang terbaik bagi siswa, sebab
belajar adalah proses perubahan itu sendiri.
Berdasarkan
data The World Competitive Scoreboard Tahun 2005 SDM Indonesia masih berada
pada peringkat 59 jauh dibawah Singapura (peringkat 3) ataupun Malaysia
(peringkat 28). Data UNDP tahun 2005 menunjukkan bahwa Human Developement
Indeks (HDI) Indonesia sejauh ini masih berada pada peringkat 110 yang
menempatkan negara ini dibawah Vietnam (peringkat 108) dan Malaysia (peringkat
61). Dari data-data diatas dapat disimpulkan bahwa guru Indonesia sebagai motor
pendidikan ternyata belum mampu mencapai kualitas sebagaimana diharapkan.
Kaitan antara kualitas guru dan kualitas SDM
cukup berdasar sebab guru merupakan “nahkoda” di dalam kelas. Hal ini
dipertegas oleh Anderson & Mitchener (dalam Rahayu, 2005) bahwa
pengetahuan, pengalaman dan paradigma guru tentang pembelajaran akan sangat
mempengaruhi apa yang terjadi di dalam kelas.
Pembelajaran di kelas yang efektif
mensyaratkan guru sebagai partner siswa dalam belajar, motivator dan teladan
sikap positif, sekaligus selalu melakukan refleksi terhadap apa yang telah
dilakukannya. Ditegaskan oleh Glenn (dalam Rahayu, 2005) bahwa kemampuan
mengajar bukanlah suatu yang ”take for granted”, namun kemampuan ini dapat
untuk dipelajari bahkan untuk disempurnakan secara terus menerus. Ketrampilan
mengajar khusus, misalnya kemampuan untuk membedakan antara apa yang paling
penting dipelajari oleh siswa atau apa yang paling sulit dipahami siswa, hanya
dapat diperoleh melalui pelatihan, konsultasi, kolaborasi, dan praktek
langsung, dengan demikian berarti bahwa penguasaan guru terhadap materi akan menentukan kualitas guru itu sendiri.
Budaya
kolaborasi guru inilah yang hampir jarang ditemukan di Indonesia. Hal ini
berbeda dengan budaya pendidikan yang ada di Jepang, sejak akhir perang dunia II dengan
terinspirasi semangat ”hansei”, semangat bangsa Jepang untuk mengkritik diri
sendiri (refleksi diri) dalam rangka mengembangkan kekurangan diri sendiri.
Dari sini lahir metode yang dikenal dengan istilah ”Jugyokenkyu”, kemudian hari
Chaterine C. Lewis menyebutnya sebagai lesson study. Di Jepang adalah hal yang
biasa saat seorang guru bahkan murid sendiri mengajukan pertanyaan seperti
”apakah saya sudah mencoba dengan sekuat tenaga ?”, ”apakah saya ingat materi
apa yang harus saya bawa ke sekolah sepanjang minggu ini ?”, ”apakah saya sudah
melakukan perbuatan perbuatan cinta kasih ke teman-teman saya ?”, ”apa yang
masih perlu saya perbaiki ?”. Budaya ini demikian efektif hingga menjadi sebuah
motor penggerak dalam pembaharuan pendidikan di Jepang.
Menurut
Stigler dan Heibert (dalam Susilo, 2005: 3) menyebutkan bahwa terdapat unsur
kunci yang hilang dari reformasi pendidikan yaitu suatu cara efektif untuk
meningkatkan kegiatan belajar mengajar melalui pengembangan pengetahuan
keprofesionalan bersama-sama berdasarkan praktik pembelajaran. Untuk mencapai
hal tersebut maka seorang guru dituntut untuk memiliki enam sikap dasar, yang
antara lain: (1) Mengkritik diri sendiri, senantiasa melakukan refleksi secara
jujur, dalam rangka pengembangan kekurangan diri sendiri. (2) Terbuka terhadap
masukan orang luar, berbagai macam masukan dan informasi merupakan “data base”
untuk terasah dan semakin kaya akan solusi dan inovasi dalam pembelajaran. (3) Mau mengakui kesalahan, menumbuhkan sikap
tanggung jawab dalam melakukan tindakan. (4) Mau menggunakan ide orang lain
yang dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar. (5) Mau memberi masukan
yang jujur dan penuh dan terakhir (6) Berkomitmen terhadap perubahan, setiap guru
harus mampu menumbuhkan komitmen bahwa proses pembelajaran hakekatnya adalah
belajar untuk menjadi dan memberikan yang terbaik bagi siswa, sebab belajar
adalah proses perubahan itu sendiri.
Seorang Guru harus berpacu dalam
pembelajaran, dengan memberikan kemudahan belajar bagi seluruh peserta didik,
agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Dalam hal ini, guru harus
kreatif, professional dan menyenangkan, dengan memposisikan diri sebagai :
1.
Orang
tua, yang penuh kasih sayang pada peserta didiknya.
2.
Teman,
tempat mengadu dan mengutarakan perasaan bagi para peserta didik.
3.
Fasilitator,
yang selalu siap memberikan kemudahan, dan melayani peserta didik sesuai minat,
kemampuan dan bakatnya.
4.
Memberikan
sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahui permasalahan yang
dihadapi anak dan memberikan saran pemecahannya.
5.
Memupuk
rasa percaya diri, berani dan bertanggung jawab.
6.
Membiasakan
peserta didik untuk saling berhubungan dengan orang lain secara wajar.
7.
Mengembangkan
proses sosialisasi yang wajar antar peserta didik, orang lain, dan
lingkungannya.
8.
Mengembangkan
kreativitas.
9.
Menjadi
pembantu ketika diperlukan.
Demikian beberapa peran yang harus
dijalani seorang guru dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh para
siswanya.
Peran dan Fungsi Guru
Para pakar pendidikan di Barat telah
melakukan penelitian tentang peran guru yang harus dilakoni. Peran guru yang
beragam telah diidentifikasi dan dikaji oleh Pullias dan Young (1988), Manan
(1990) serta Yelon dan Weinstein (1997). Adapun peran-peran tersebut adalah
sebagai berikut :
1.
Guru
Sebagai Pendidik
Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi
para peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki
standar kualitas tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan
disiplin. Peran guru sebagai pendidik (nurturer) berkaitan dengan meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih
lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang
dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan
keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup berkeluarga, pemilihan
jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh karena itu
tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru sebagai
penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak
agar tingkat laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.
2.
Guru
Sebagai Pengajar
Peranan guru sebagai pengajar
dan pembimbing dalam kegiatan belajar peserta didik dipengaruhi oleh berbagai
factor, seperti motivasi, kematangan, hubungan peserta didik dengan guru,
kemampuan verbal, tingkat kebebasan, rasa aman dan keterampilan guru dalam
berkomunikasi. Jika factor-faktor di atas dipenuhi, maka melalui pembelajaran
peserta didik dapat belajar dengan baik. Guru harus berusaha membuat sesuatu
menjadi jelas bagi peserta didik dan terampil dalam memecahkan masalah.
Ada beberapa hal yang harus
dilakukan oleh seorang guru dalam pembelajaran, yaitu : Membuat ilustrasi,
Mendefinisikan, Menganalisis, Mensintesis, Bertanya, Merespon, Mendengarkan,
Menciptakan kepercayaan, Memberikan pandangan yang bervariasi, Menyediakan
media untuk mengkaji materi standar, Menyesuaikan metode pembelajaran,
Memberikan nada perasaan.
Agar pembelajaran memiliki
kekuatan yang maksimal, guru-guru harus senantiasa berusaha untuk
mempertahankan dan meningkatkan semangat yang telah dimilikinya ketika
mempelajari materi standar.
3.
Guru
Sebagai Pembimbing
Guru dapat diibaratkan sebagai
pembimbing perjalanan, yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya
bertanggungjawab atas kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini, istilah
perjalanan tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga perjalanan mental,
emosional, kreatifitas, moral dan spiritual yang lebih dalam dan kompleks.
Sebagai pembimbing perjalanan,
guru memerlukan kompetensi yang tinggi untuk melaksanakan empat hal berikut.
Pertama, guru harus
merencanakan tujuan dan mengidentifikasi kompetensi yang hendak dicapai. Kedua,
guru harus melihat keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran, dan yang
paling penting bahwa peserta didik melaksanakan kegiatan belajar itu tidak
hanya secara jasmaniah, tetapi mereka harus terlibat secara psikologis.Ketiga,
guru harus memaknai kegiatan belajar.Keempat, guru harus melaksanakan
penilaian.
4.
Guru
sebagai Pemimpin
Guru diharapkan mempunyai
kepribadian dan ilmu pengetahuan. Guru menjadi pemimpin bagi peserta didiknya.
Ia akan menjadi imam.
5.
Guru
sebagai pengelola pembelajaran
Guru harus mampu menguasai
berbagai metode pembelajaran. Selain itu ,guru juga dituntut untuk selalu
menambah pengetahuan dan keterampilan agar supaya pengetahuan dan keterampilan
yang dirnilikinya tidak ketinggalan jaman.
6.
Guru
Sebagai Model dan Teladan
Guru merupakan model atau
teladan bagi para peserta didik dan semua orang yang menganggap dia sebagai
guru. Terdapat kecenderungan yang besar untuk menganggap bahwa peran ini tidak
mudah untuk ditentang, apalagi ditolak. Sebagai teladan, tentu saja pribadi dan
apa yang dilakukan guru akan mendapat sorotan peserta didik serta orang di
sekitar lingkungannya yang menganggap atau mengakuinya sebagai guru. Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru : Sikap dasar, Bicara dan gaya
bicara, Kebiasaan bekerja, Sikap melalui pengalaman dan kesalahan, Pakaian,
Hubungan kemanusiaan, Proses berfikir, Perilaku neurotis, Selera, Keputusan,
Kesehatan, Gaya hidup secara umum. Perilaku guru sangat mempengaruhi peserta
didik, tetapi peserta didik harus berani mengembangkan gaya hidup pribadinya
sendiri.
Guru yang baik adalah yang
menyadari kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang ada pada
dirinya, kemudian menyadari kesalahan ketika memang bersalah. Kesalahan harus
diikuti dengan sikap merasa dan berusaha untuk tidak mengulanginya.
7.
Sebagai
anggota masyarakat
Peranan guru sebagai
komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat berperan
aktif dalam pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat mengembangkan
kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya. Guru perlu juga memiliki kemampuan
untuk berbaur dengan masyarakat melalui kemampuannya, antara lain melalui kegiatan
olah raga, keagamaan dan kepemudaan. Keluwesan bergaul harus dimiliki, sebab kalau
tidak pergaulannya akan menjadi kaku dan berakibat yang bersangkutan kurang
bisa diterima oleh masyarakat.
8.
Guru
sebagai administrator
Seorang guru tidak hanya
sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai administrator pada bidang
pendidikan dan pengajaran. Guru akan dihadapkan pada berbagai tugas
administrasi di sekolah. Oleh karena itu seorang guru dituntut bekerja secara
administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar
mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang
dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar dan
sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa ia telah melaksanakan tugasnya
dengan baik.
9.
Guru
Sebagai Penasehat
Guru adalah seorang penasehat
bagi peserta didik juga bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan
khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk
menasehati orang.
Peserta didik senantiasa
berhadapan dengan kebutuhan untuk membuat keputusan dan dalam prosesnya akan
lari kepada gurunya. Agar guru dapat menyadari perannya sebagai orang
kepercayaan dan penasihat secara lebih mendalam, ia harus memahami psikologi
kepribadian dan ilmu kesehatan mental.
10. Guru Sebagai Pembaharu (Inovator)
Guru menerjemahkan pengalaman
yang telah lalu ke dalam kehidupan yang bermakna bagi peserta didik. Dalam hal
ini, terdapat jurang yang dalam dan luas antara generasi yang satu dengan yang
lain, demikian halnya pengalaman orang tua memiliki arti lebih banyak daripada
nenek kita. Seorang peserta didik yang belajar sekarang, secara psikologis
berada jauh dari pengalaman manusia yang harus dipahami, dicerna dan diwujudkan
dalam pendidikan.
Tugas guru adalah
menerjemahkan kebijakan dan pengalaman yang berharga ini kedalam istilah atau
bahasa moderen yang akan diterima oleh peserta didik. Sebagai jembatan antara
generasi tua dan genearasi muda, yang juga penerjemah pengalaman, guru harus
menjadi pribadi yang terdidik.
11. Guru Sebagai Pendorong Kreatifitas
Kreativitas merupakan hal yang
sangat penting dalam pembelajaran dan guru dituntut untuk mendemonstrasikan dan
menunjukkan proses kreatifitas tersebut. Kreatifitas merupakan sesuatu yang
bersifat universal dan merupakan cirri aspek dunia kehidupan di sekitar kita.
Kreativitas ditandai oleh adanya kegiatan menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak
ada dan tidak dilakukan oleh seseorang atau adanya kecenderungan untuk
menciptakan sesuatu.
Akibat dari fungsi ini, guru
senantiasa berusaha untuk menemukan cara yang lebih baik dalam melayani peserta
didik, sehingga peserta didik akan menilaianya bahwa ia memang kreatif dan
tidak melakukan sesuatu secara rutin saja. Kreativitas menunjukkan bahwa apa
yang akan dikerjakan oleh guru sekarang lebih baik dari yang telah dikerjakan
sebelumnya.
12. Guru Sebagai Emansipator
Dengan kecerdikannya, guru
mampu memahami potensi peserta didik, menghormati setiap insan dan menyadari
bahwa kebanyakan insan merupakan “budak” stagnasi kebudayaan. Guru mengetahui
bahwa pengalaman, pengakuan dan dorongan seringkali membebaskan peserta didik
dari “self image” yang tidak menyenangkan, kebodohan dan dari perasaan tertolak
dan rendah diri. Guru telah melaksanakan peran sebagai emansipator ketika
peserta didik yang dicampakkan secara moril dan mengalami berbagai kesulitan
dibangkitkan kembali menjadi pribadi yang percaya diri.
13. Guru Sebagai Evaluator
Evaluasi atau penilaian
merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena melibatkan banyak
latar belakang dan hubungan, serta variable lain yang mempunyai arti apabila
berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan dengan
setiap segi penilaian. Teknik apapun yang dipilih, dalam penilaian harus
dilakukan dengan prosedur yang jelas, yang meliputi tiga tahap, yaitu
persiapan, pelaksanaan dan tindak lanjut.
14. Guru Sebagai Kulminator
Guru adalah orang yang mengarahkan
proses belajar secara bertahap dari awal hingga akhir (kulminasi). Dengan
rancangannya peserta didik akan melewati tahap kulminasi, suatu tahap yang
memungkinkan setiap peserta didik bisa mengetahui kemajuan belajarnya. Di sini
peran kulminator terpadu dengan peran sebagai evaluator.
Guru sejatinya adalah seorang pribadi yang
harus serba bisa dan serba tahu. Serta mampu mentransferkan kebisaan dan
pengetahuan pada muridnya dengan cara yang sesuai dengan perkembangan dan
potensi anak didik.
Begitu banyak peran yang harus diemban
oleh seorang guru. Peran yang begitu berat dipikul di pundak guru hendaknya
tidak menjadikan calon guru mundur dari tugas mulia tersebut. Peran-peran
tersebut harus menjadi tantangan dan motivasi bagi calon guru. Dia harus menyadari
bahwa di masyarakat harus ada yang menjalani peran guru. Bila tidak, maka suatu
masyarakat tidak akan terbangun dengan utuh. Penuh ketimpangan dan akhirnya
masyarakat tersebut bergerak menuju kehancuran.
D. Peran Aktif Siswa dalam meningkatkan mutu
dan kualitas pendidikan
Pendidikan, sebuah kata yang memiliki banyak definisi dan tidak akan
habis jika diperbincangkan. Karena pendidikan dapat diperoleh oleh siapa saja,
kapan saja, dan dimana saja. Perlu kita ketahui beberapa hal tentang
pendidikan. Pendidikan adalah sebuah persoalan pokok yang mendasar yang
merupakan kebutuhan dasar seluruh umat manusia dan merupakan suatu titik awal
berkembangnya peradaban dunia. Pendidikan tersebut tidak semata – mata hanya
dari bangku sekolah saja, tetapi digolongkan menjadi pendidikan formal dan
pendidikan non-formal. Dalam hal ini, pembahasan lebih cenderung kepada
pendidikan formal.
Yang menjadi tonggak awal berkembangnya
pendidikan di Indonesia, yaitu pada saat dilaksanakannya politik etis atau
balas budi, yang, dimana rakyat Indonesia, baik kaum bangsawan maupun rakyat
biasa dapat mengecap pendidikan dan lahirlah golongan terpelajar. Dengan
lahirnya golongan terpelajar, maka berubahlah nasib bangsa Indonesia melalui
proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Sama halnya dengan
pendapat beberapa ahli, seperti tokoh pendiri nasional, Ir. Soekarno dan Ki
Hajar Dewantara, menyebutkan bahwa satu – satunya yang dapat mengubah nasib
suatu bangsa adalah pendidikan. Sedangkan Jean Jaqques Rosseau, seorang tokoh pembaharu
Perancis yang menyebutkan, semua yang kita butuhkan dan semua kekurangan kita
waktu lahir, hanya akan kita penuhi melalui pendidikan. Selain itu,
Aristoteles, ahli filsafat Yunani kuno berpendapat, bahwa perbaikan masyarakat
hanya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu memperbaiki sistem pendidikan.
Dari beberapa
pendapat para ahli di atas, para siswa sebagai generasi muda Indonesia,
khususnya pelajar Merangin,
dapat menilai sendiri betapa pentingnya pendidikan. Pendidikan dapat menjadi
alat dan sarana bagi kita untuk mengubah dunia. Oleh karena itu, dengan mutu
dan kualitas pendidikan yang baik, para siswa juga dapat mengubah dunia menjadi
lebih baik lagi, khususnya berperan aktif dalam pembangunan di Merangin dikemudian hari.
Dalam dunia
pendidikan, siswa adalah aktor penting yang menjalankan peran utama dalam dunia
pendidikan. Dengan semakin meningkatnya peran siswa dalam dunia pendidikan,
maka semakin bagus pula mutu dan kualitas pendidikan tersebut. Untuk
meningkatkan peran aktif siswa dalam dunia pendidikan Merangin, ada 2 faktor utama yang sangat
berperan, yaitu faktor Internal dan Eksternal.
Yang menjadi
faktor internal dalam meningkatkan peran aktif siswa di dunia pendidikan adalah
siswa itu sendiri. Dengan demikian, mereka merupakan motor penggerak dalam
meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan. Untuk menciptakan motor penggerak
yang bermutu dan berkualitas diperlukan pengambilan sikap para siswa untuk
terlibat dan berperan aktif, yaitu dengan menempuh jalur pendidikan yang lebih
tinggi, antara lain dengan mengecap pendidikan di Universitas, Akademi, dan
pendidikan lainnya yang sejenis. Namun perlu disadari, bahwa menempuh jalur
pendidikan yang dimaksud di atas bukanlah segala – galanya. Perlu adanya usaha
dan kesadaran yang maksimal dari para siswa untuk giat dan serius dalam
menjalani orientasi pendidikannya.
Sebagai dasar
pertimbangan dalam menentukan perguruan tinggi yang akan dipilih adalah suatu
hal yang sangat penting. Hal ini dikarenakan, para siswa tersebut akan menjadi
motor penggerak yang bermutu dan berkualitas. Mereka dituntut untuk lebih jeli
dan bijaksana dalam memilih perguruan tinggi. Karena langkah awal merupakan
penentu akhir dari suatu tujuan, yaitu terciptanya motor penggerak yang bermutu
dan berkualitas dalam membangun Merangin
dikemudian hari.
Dalam hal memilih perguruan tinggi,
seperti yang kita ketahui, akhir – akhir ini mulai menjamurnya perguruan tinggi
berpapan nama yang menawarkan banyak kelebihan dan janji – janji, namun masih
banyak yang belum memenuhi kriteria sebuah pendidikan tinggi, sehingga pada
masa pertengahannya, perguruan tinggi berpapan nama tersebut ditutup dan
berakibat hancurnya cita –cita motor penggerak tersebut. Oleh karena
itu, diperlukanlah peran aktif siswa agar bijak mengambil keputusan demi tercapainya
cita – cita.
Untuk menunjukkan peran aktif siswa dalam
meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan yang ada di Merangin, tidak sedikit
para siswa yang berkeinginan mengecap pendidikan tinggi, dan jika dianggap
perlu, mereka rela meninggalkan kampung halaman dan merantau untuk melanjutkan
pendidikan yang lebih tinggi di luar merangn. Hal ini dirasa sangat
penting oleh orang tua siswa dengan mendukung peran aktif siswa tersebut.
Selain itu juga adanya kesempatan yang diberikan oleh perguruan tinggi di luar Merangin
Sebagai bukti konkrit, telah kita ketahui
banyaknya peserta didik Merangin yang menuntut ilmu pada perguruan tinggi di
Jambi bahkan ada juga yang ke Pulau Jawa . Yang kelak, setelah mereka
menamatkan pendidikan dan dengan bekal yang telah mereka dapati, mereka akan
kembali Merangin sebagai sumber daya manusia yang berkualitas dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Dengan besarnya minat dan keinginan untuk
merealisasikan cita – cita dalam meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di Merangin,
Ini menjadi
sebuah motto yang mendukung mental para siswa untuk dapat lebih berhasil dalam
proses pendidikan selanjutnya. Selain faktor internal, ada juga faktor
eksternal yang mendukung terlaksananya faktor internal di atas. Yaitu dukungan
dari keluarga, khususnya orang tua, sekolah, maupun masyarakat dan pemerintah.
Dengan dukungan dan bimbingan yang penuh dari berbagai pihak, maka dapat
terciptanya manusia yang berakhlak dan bermental dewasa, sehingga cita – cita
pembangunan Merangin, bukan
hanya sebuah mimpi belaka, melainkan sebuah proses realisasi untuk mewujudkan
pembangunan bangsa.
Dalam
lingkungan keluarga, orang tua sangat berperan dalam mendukung peran aktif sang
anak dalam dunia pendidikan, yaitu dengan memberikan pendidikan, berupa bimbingan
dan didikan. Pendidikan non-formal yang didapat seorang anak dari lingkungan
keluarganya sangat berpengaruh dan menentukan seberapa besar peran aktif anak
tersebut dalam dunia pendidikan. Hal ini dikarenakan lingkungan keluarga
merupakan lingkungan terdekat bagi anak tersebut.
Sedangkan
melalui pendidikan formal, guru sangat berperan untuk membangun tingkat
intelektual siswa. Dengan berkualitasnya seorang guru, maka akan terciptalah
siswa yang berkualitas pula. Peran seorang guru yang berkualitas, bukan hanya
sebagai sumber utama ilmu pengetahuan atau jawaban dari segala persoalan, namun
sebagai sarana dan fasilitator dalam menghubungkan siswa dengan ilmu
pengetahuan, sehingga kompetensi yang baik dari seorang guru sangat diperlukan.
Sedangkan peran seorang murid yang berkualitas adalah sebagai partisipan yang
aktif, bukan sebagai partisipan pasif. Jika peran antara guru dan murid yang
berkualitas telah sinkron, maka akan terwujudlah siswa sebagai calon motor
penggerak pembangunan yang baik.
Selain itu, pemerintah
juga memegang peranan yang cukup besar dalam mendukung peran aktif siswa. Hal
tersebut terwujud dalam bentuk kebijakan – kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah, baik dalam penentuan anggaran pendidikan, penentuan kurikulum,
serta penentuan sistem – sistem pendidikan lainnya. Jika kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah tersebut dapat meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan, maka
keberhasilan dalam menciptakan motor penggerak akan terwujud.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan,
bahwa para siswa Merangin, Dalam mendukung semangat dan daya juang para
siswa, yaitu dengan meningkatkan kualitas pendidikan melalui dukungan dari
orang tua, sekolah, dan pemerintah. Dan untuk mencapai cita – cita tersebut,
hal yang sangat penting adalah penentuan disiplin ilmu tertentu yang akan
dituju oleh para siswa. Selanjutnya, keberhasilan orientasi pendidikan akan
ditentukan oleh komitmen dan sikap disiplin para siswa pada saat masa
pendidikannya. Dengan demikian, peran aktif siswa hanya akan terwujud dengan
dukungan dari berbagai pihak, yaitu keluarga, sekolah, masyarakat, dan
pemerintah.sumber : http://fadol-syukroni.blogspot.com/